Remote-Shift – Orang-orang menyukai film mitologi karena mendapatkan cara untuk mengeksplorasi pertanyaan tentang kemanusiaan, kehidupan, dan kematian melalui cerita-cerita menawan yang menampilkan karakter-karakter yang relevan. Mitologi sering kali menawarkan wawasan mendalam tentang pengalaman manusiawi bersama nilai-nilai budaya, dan asal-usul kita, sekaligus memberikan rasa takjub dan hubungan dengan masa lalu melalui narasi yang kaya dan gambaran simbolis.
Deretan Film Dengan Kisah Mitologi Yang Kurang Akurat Namun Sangat Menarik
Mitos sering kali mengeksplorasi tema-tema universal seperti cinta, kehilangan, pengkhianatan, keberanian, dan penebusan dosa, yang beresonansi dengan orang-orang di berbagai budaya dan periode waktu. Film kisah mitologi mencoba menjelaskan fenomena alam, emosi manusia, dan pertanyaan eksistensial yang mungkin sulit dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Menyisipkan mitologi ke dalam film membuatnya lebih menarik untuk ditonton karena ada begitu banyak elemen untuk diungkapkan.
Medea (1969)
Medea, film Italia yang disutradarai oleh Pier Paulo Pasolini, adalah salah satu film mitologi Yunani yang menginterpretasikan mitos Yunani yang terkenal yaitu Jason dan para Argonaut. Film ini diberi nama berdasarkan salah satu karakter utama cerita, Medea, yang dikhianati oleh Jason dan akhirnya berusaha membalas dendam padanya dan keluarganya. Film ini mendapat respons positif dari para kritikus karena berhasil membuat subjek yang suram menjadi lebih menarik dan tidak malu untuk mengungkap lebih dalam bagian-bagian yang lebih suram dari mitos aslinya.
Penyanyi Italia terkenal Maria Callas menjadi pemeran utama, Medea, yang menjadi satu-satunya karakter yang dimainkan sepanjang karir aktingnya. Mengenai keakuratannya, Medea sebagian besar merupakan penceritaan ulang dari kisah Jason dan para Argonaut dan drama Euripides, The Medea. Namun, film ini tidak menggunakan dialog yang sama dengan drama Euripides, tetapi alur ceritanya masih sama. Perjalanan Jason ke Colchis juga mengikuti cerita aslinya. Film ini juga berani untuk menampilkan akhir yang tragis.
Immortals (2011)
Visual Immortals tahun 2011 memang sangat menarik, dengan cakupan dan antusiasme yang layak. Namun, seperti film sejenis 300, film ini mengandung kekerasan yang cukup gamblang. Namun, sinematografi gelap dalam Immortals terasa agak membosankan jika dibandingkan. Ceritanya sendiri tidak terlalu mirip dengan film mitologi Yunani lainnya. Film ini memiliki visual yang luar biasa, yang tidak mengejutkan jika itu karya dari Tarsem, sutradara di balik mahakarya visual seperti The Fall dan The Cell.
Film ini menunjukkan Raja Hyperion yang mencari busur yang seharusnya membebaskan para Titan yang kuat dan pengkhianat setelah Dua Belas Dewa Olimpus memenjarakan mereka. Theseus adalah seorang pria yang ditakdirkan untuk melawan Hyperion, sementara para Dewa Yunani terikat oleh Zeus untuk tidak ikut campur kecuali para Titan dibebaskan. Hal ini menyebabkan pembebasan para Titan, kehancuran para dewa, dan akhirnya legenda Theseus. Film ini mungkin tidak begitu menggambarkan akurasi yang kuat terhadap mitologi Yunani, tetapi visual di sini layak untuk ditonton.
Orpheus (1950)
Sebuah film Prancis yang menceritakan kembali tragedi Orpheus dan Euridice secara modern ini dinilai berbelit-belit, aneh, dan sulit dipahami oleh penonton yang tidak berbahasa Prancis. Namun, film ini berhasil menjadi karya seni penting yang kemudian menjadi ciri khas sinema Prancis pada tahun 1950-an. Ketika istri tokoh utama dibunuh oleh personifikasi Kematian, ia terpaksa melintasi alam baka untuk mengembalikannya ke dunia orang hidup. Seperti O Brother, Where Art Thou?, film ini menggunakan versi aslinya sebagai contoh.
Orpheus tidak diragukan lagi merupakan film avant-garde yang hebat. Tetapi tetap merupakan interpretasi ulang yang mencolok dan terealisasi dengan baik dari film-film mitologi Yunani kuno. Film ini juga merupakan bagian dari trilogi film tengah antara The Blood of a Poet (1930) dan Testament of Orpheus (1960), yang dianggap sebagai Trilogi Orphic. Orpheus adalah film ikonik dan diangkat menjadi opera. Pertama oleh Philip Glass yang legendaris pada tahun 1993 dan kemudian pada tahun 2007 oleh Anne Manson.
Hercules (2014)
Film ini menumbangkan ekspektasi genre ini di setiap kesempatan yang pada dasarnya mengubah fantasi menjadi lelucon yang berulang. Hercules dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana salah tafsir dapat mengakibatkan spekulasi liar dan legenda fantasi berikutnya. Mereka yang menyukai aspek film mitologi Yunani mungkin akan kecewa karena Hercules didasarkan pada buku komik, dalam hal ini, novel grafis Steve Moore Hercules.
Ceritanya memiliki vibe yang ringan dan kekanak-kanakan, mungkin sesuai dengan sutradaranya, Brett Ratner. Namun, petualangannya bersemangat dan cepat, dan Dwayne “The Rock” Johnson memerankan pahlawan utama dengan baik. Meskipun kemampuan aktingnya tidak selalu terbaik, ia memiliki banyak karisma dan fisik yang tepat. Ia memainkan peran dengan antusiasme yang tulus dan mengangkat cerita dengan kehadirannya. Film tersebut sukses di box office, berkat kekuatan bintangnya Johnson.
Spartacus (1960)
Sebuah film yang kurang lebih tidak diakui oleh sutradara Stanely Kubrick karena ketidaksetujuannya dengan bintang Kirk Douglas, namun tetap dipuja sebagai film klasik dalam genre film mitologi Yunani. Sebuah versi romantis dari peristiwa sejarah, Spartacus mengisahkan kehidupan tokoh utamanya saat ia melancarkan pemberontakan terhadap Kekaisaran Romawi yang korup. Douglas berperan sebagai Spartacus, seorang budak Thracian yang bangkit dalam pemberontakan melawan diktator Romawi, Crassus.
Penuh dengan cinta, kemenangan, dan tragedi, film ini wajib ditonton bagi penggemar mitologi Yunani, meskipun tidak sepenuhnya akurat dengan cerita klasiknya. Film ini mungkin paling dikenal karena adegan pertempuran epiknya yang, dalam beberapa kasus, menuntut ribuan pemeran tambahan di lokasi syuting. Meskipun Scorsese menolak film yang sudah jadi, film ini sukses besar dan memenangkan empat Oscar dengan enam nominasi. Film ini juga mendapat kehormatan dengan masuknya ke dalam National Film Registry oleh Library of Congress pada tahun 2017.
300: Rise Of An Empire (2014)
Ini adalah sekuel dari film Zack Snyder, 300. Seperti pendahulunya, film 300: Rise of an Empire merupakan salah satu film mitologi Yunani yang lebih condong ke fantasi. Namun, meskipun dengan semua hiperbola visualnya, film pertama itu hanya membawa sedikit fantasi. Semuanya menggunakan latar belakang laut dimana terjadi rangkaian aksi yang menarik yang membuatnya semuanya terasa luar biasa indah. Kebrutalannya cocok dengan suasana yang kasar dan penuh badai. Namun, protagonis disini dinilai bagian terlemah dari film ini. Yang sangat disayangkan mengingat betapa populernya Leonidas yang diperankan Gerard Butler dalam budaya pop.
Intrik yang sebenarnya adalah Eva Green, yang berhasil memerankan Artemisia sebagai penjahat yang simpatik dan menarik. Film ini tidak hanya mengikuti peristiwa 300, tetapi juga menunjukkan apa yang terjadi sebelum, selama, dan setelah Pertempuran Artemisium dan Pertempuran Salamis. Namun, beberapa ketidakakuratan sejarah dalam film ini membuat cerita ini tidak sesuai dengan peristiwa di dunia nyata. Darius tidak mati seperti yang terjadi dalam film, dan baik dia maupun Xerxes bahkan tidak dihadirkan dalam Pertempuran Marathon.
Baca Juga : Film Mitologi Dengan Kisah Kuno Yang Epik